Orang Tua Siswa Menangis Mencari Keadilan. Anak Dibuang Setelah Diterima di SMAN 1 Taman Sidoarjo.

Berita20 Dilihat

Sidoarjo, Mediabangsanews.com

Keadilan seolah sudah mati di ruang-ruang pendidikan Negeri. Di tengah gembar-gembor “Merdeka Belajar” dan jargon manis tentang pemerataan pendidikan, sebuah kisah getir justru menampar nurani publik.

Seorang ayah, Tri, warga Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo, kini hanya bisa menggenggam air mata setelah anak kandungnya, M. Risky Firmansyah, dikeluarkan secara sepihak dari SMAN 1 Taman Sidoarjo, sekolah Negeri bergengsi yang seharusnya menjadi rumah belajar, bukan tempat membuang anak didik.

Keputusan kejam itu datang hanya sebulan setelah Firmansyah diterima melalui jalur afirmasi tahun ajaran 2025/2026. Padahal, jalur afirmasi sejatinya diperuntukkan bagi siswa kurang mampu atau dengan kondisi khusus agar mereka mendapat kesempatan setara dalam menempuh pendidikan. Tapi di tangan segelintir oknum bermental dagang, “jalur afirmasi” justru dijadikan permainan kotor — menerima, memungut biaya, lalu menyingkirkan.

Sebelum peristiwa memilukan itu, orang tua Firmansyah telah menunaikan seluruh kewajiban administrasi sekolah.
Total hampir Rp3 juta digelontorkan dari kantong rakyat kecil demi harapan masa depan anaknya, adapun berdasarkan pengakuan orang tua Firmansyah disebutkan bahwa dirinya disuruh membayar Uang administrasi seragam dan perlengkapan sekolah Rp1.995.000,  Iuran tahunan Rp265.000, Sumbangan bulanan: Rp300.000 × 3 bulan = Rp900.000

Baca Juga  PT. Smelting Berikan Hibah Mobil Toyota Innova Untuk Operasional Kadin Gresik

Tapi alih-alih mendidik, pihak sekolah justru menodai kepercayaan itu dengan keputusan sepihak Firmansyah dinyatakan “tidak layak dididik” karena dianggap ber-IQ rendah. Lebih kejam lagi, keputusan itu disampaikan langsung ke rumah orang tua dengan kalimat yang menusuk:

“Kami tidak sanggup mendidik anak Anda.”

Sebuah alasan yang bukan hanya tidak manusiawi, tapi juga melanggar hukum dan prinsip dasar pendidikan nasional.

Dengan suara bergetar menahan marah, Tri, sang ayah, menuturkan, “Kalau memang anak saya dianggap tidak memenuhi standar, seharusnya dari awal jangan diterima! Kami sudah bayar semua kewajiban, sudah beli seragam, sudah ikut aturan. Tapi setelah sebulan belajar, anak saya malah dikeluarkan begitu saja. Ini bukan sekolah, ini penghinaan terhadap rakyat kecil!”

Kini, seragam yang dibeli dengan penuh pengorbanan itu tergantung tak berguna di dinding rumah, menjadi saksi bisu pengkhianatan dunia pendidikan yang katanya berpihak pada keadilan sosial.

Kasus ini tidak berhenti di meja keluarga. Lembaga Swadaya Masyarakat GEMPAR Sidoarjo (Generasi Muda Peduli aspirasi Masyarakat ) turun langsung.
Ketua LSM, Agus Harianto, S.H., menyebut bahwa tindakan mengeluarkan siswa tanpa dasar hukum yang jelas adalah pelanggaran berat terhadap hak konstitusional anak untuk memperoleh pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Baca Juga  Personel Polres Lamongan Lakukan Pengamanan Minggu Ceria

Agus selaku Ketua DPD LSM Gempar menegaskan “Ini bukan sekadar salah urus. Kami mencium adanya dugaan permainan kotor dan penyalahgunaan wewenang di dalam lingkungan SMAN 1 Taman. Anak dikeluarkan bukan karena IQ, tapi karena ada ‘kursi basah’ yang harus diisi oleh siswa titipan. Kalau benar demikian, ini jelas mencoreng dunia pendidikan dan merupakan bentuk diskriminasi yang menjijikkan.”

Lebih sadis lagi, meski siswa telah dikeluarkan, pihak sekolah menolak mengembalikan uang yang sudah dibayarkan. Upaya kekeluargaan telah ditempuh, tapi tak ada jawaban, tak ada empati.

Sikap diam sekolah ini bukan hanya pelecehan terhadap keluarga korban, tapi juga indikasi kuat adanya mental “pungli terselubung” yang dibungkus dalam seragam ASN dan baju guru.

LSM GEMPAR bersama awak media kini mendesak Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur untuk segera turun tangan dan membuka penyelidikan menyeluruh terhadap SMAN 1 Taman.
Publik menuntut agar semua oknum yang terlibat, mulai dari kepala sekolah hingga panitia penerimaan siswa baru, diseret ke ranah hukum dan dijatuhi sanksi administratif maupun pidana bila terbukti melanggar Undang-Undang Pendidikan Nasional.

Baca Juga  Diduga Buat Ajang Pungli. SMAN 1 Kedamean Juga diduga Membuka Jalur Langit Pada Tahun Ajaran Baru.

“Sekolah negeri itu dibiayai uang rakyat. Jangan jadikan lembaga pendidikan tempat bisnis dan diskriminasi,” tegas Agus Harianto.

Kasus ini menyisakan luka dalam bagi masyarakat. Di saat banyak anak miskin berjuang untuk menggapai pendidikan, justru ada sekolah negeri yang tega menyingkirkan anak hanya karena dianggap tidak secerdas standar mereka.
Apakah pendidikan sekarang hanya untuk yang ber-IQ tinggi dan berduit banyak?
Apakah sekolah negeri sudah berubah menjadi perusahaan yang menyeleksi manusia berdasarkan untung-rugi?

Kejadian ini adalah tamparan keras bagi moral dunia pendidikan di Indonesia.
Anak-anak bukan angka IQ. Mereka manusia, yang punya hak untuk belajar, salah, berkembang, dan diperbaiki — bukan dibuang seperti barang cacat produksi.

Hingga berita ini diturunkan, pihak SMAN 1 Taman belum memberikan klarifikasi resmi. Sementara itu, Tri dan keluarganya masih menunggu keajaiban: keadilan yang tak kunjung datang di negeri yang katanya menjunjung tinggi pendidikan untuk semua.

(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *