Surabaya, Mediabangsanews.com
Wabah Demam Berdarah Dengue (DBD) kembali mengintai warga Surabaya. Kali ini, seorang anak di Kelurahan Pakal dilaporkan terjangkit virus yang disebarkan nyamuk Aedes aegypti tersebut. Sementara itu, Lurah Pakal, Bayu, menyatakan pihaknya selama ini aktif melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan pemantauan jentik (Jumantik).
“Kami sudah koordinasikan terkait hal ini. Yang terpenting, anak itu sudah cepat mendapatkan perawatan di rumah sakit. Setelah itu biasanya rumah sakit mengirimkan notifikasi ke puskesmas, dan kami langsung turun melakukan pengecekan ke rumah, termasuk ke beberapa rumah di sekitarnya,” ujar Lurah Bayu, Selasa (12/6).
Klaim tersebut dilontarkan Bayu saat dikonfirmasi soal peran kelurahan dalam merespons kasus DBD yang menimpa warganya. Ia menyebut bahwa Kelurahan Pakal telah menjalankan program pemerintah kota dengan menggerakkan kader Jumantik secara rutin.
Namun demikian, fakta adanya warga yang masih terjangkit justru membuka ruang kritik publik terkait efektivitas program yang diklaim “rutin” itu. Sejumlah ahli kesehatan masyarakat menilai, pelaksanaan PSN dan Jumantik kerap hanya bersifat administratif dan simbolik.
“Kalau memang PSN dan Jumantik berjalan optimal, kenapa masih ada warga yang tertular? Harusnya ada evaluasi menyeluruh. Ini bukan sekadar rutinitas, tapi soal nyawa,” ujar seorang Gus Sup Ayah penderita DB.
Warga sekitar yang ditemui menyebut kegiatan Jumantik terakhir dilakukan beberapa minggu lalu, dan tak semua rumah mendapatkan kunjungan.
Sementara itu, Dinas Kesehatan Kota Surabaya mencatat tren kasus DBD menunjukkan peningkatan signifikan memasuki musim pancaroba. Kota ini sempat menjadi salah satu wilayah dengan kasus tertinggi di Jawa Timur pada awal 2024 lalu.
“Masalahnya bukan hanya nyamuk, tapi sistem kontrol sosial kita yang longgar. Kita butuh lurah yang tidak hanya bicara sudah lakukan ini-itu, tapi juga mau menerima kalau sistemnya belum jalan,” tutur warga setempat yang enggan disebut namanya.
Kasus ini menjadi cermin bahwa penanganan DBD tak cukup hanya dengan jargon ‘PSN rutin’. Butuh kepemimpinan yang tidak sekadar menyampaikan laporan, melainkan menanamkan kesadaran kolektif dan bertindak atas dasar tanggung jawab sosial – demi nyawa yang mungkin tak sempat diselamatkan esok hari.
(Red).